Membagikan daging aqiqah dengan dimasak dulu, kemudian ditambah dengan nasi seperti sebuah perhelatan atau walimahan biasa, itu tidak berdasarkan dari contoh Nabi Muhammad Saw.
Adapun urusan aqiqah ini adalah urusan ubudiyyah dimana
pikiran serta perasaan tidak boleh ikut campur untuk mengaturnya.
Aqiqah tidak diperkenankan ditukar dengan beras sekalipun pada saa itu
beras lebih diperlukan, atau ditukar dengan pakaian meskipun harganya
mahal, atau dibagikan uangnya seharga kambing atau domba yang akan
dijadikan aqiqah, walaupun dengan alasan lebih bermanfaat menurut
pikiran dan perasaan kita.
Soal-soal taabbudi kita
wajib melakukan segala sesuatunya sesuai dengan yang telah disyariatkan
oleh Allah SWT. dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Dalam
riwayat yang sohih, Siti Aisyah r.a menerangkan "Sesungguhnya
Rasulullah Saw memerintahkan mereka beraqiqah buat anak laki-laki dua
ekor kambing (atau domba) yang sama dan buat anak perempuan satu ekor
kambing (atau domba)," (Riwayat Ahmad dan Tirmidzi)
Dalam lain Rasulullah Saw, bersabda "Disembelih aqiqah buat anak-anak itu pada hari yang ketujuh," (Riwayat Ibnu Majah)
Dalam
kitab Al Muhadzdzab disebutkan bahwa aqiqah itu disedekahkan setelah
dimasak. masakannya mesti banyak gula agar anaknya menjadi manis.
keterangan
diatas bukan dari quran bukan pula dari hadits nabi. Yang dijadikan
dasar bagi ketetapan tersebut ialah riwayat Aisyah yang menerangkan
"(Aqiqah) itu dimasak sepenggal-sepenggal (Juduulan), dan tidak dipecahkan baginya tulang."
Juduulan adalah jamak dari kata jidlun,
artinya "anggota". Bila kita teliti keterangan Aisyah ini, maka aqiqah
itu mesti dipotong dengan cara seanggota-anggota tubuhnya, tidak boleh
direcah sehingga anggota-anggota tubuhnya terpotong-potong, tidak boleh
pula tulangnya pecah-pecah atau terpotong-potong.
Dalam
Al Muhadzdzab, rawi hadis tersebut tidak diterangkan, tidak pula
diterangkan tingkatan sah serta tidaknya. Untuk itu kita dapat
membacanya dalam Majmu Syarah Muhadzdzab, yaitu "Adapun hadis Aisyah
yang satu lagi dalam hal memasak aqiqah dengan juduulan (berpenggal-penggal)
adalah hadis gharib, dan diriwayatkan oleh Al Bahaiqi (bahwa riwayat
tersebut) adalah ucapan dari Atha bin Rabah." (8:4283)
Dalam kitab Al Muhalla terdapat hadis seperti diatas, tetapi lafaznya sungguh berlainan, sebab bukan tuthbahu (dimasak), melainkan taqtha'u (dipotong sepenggal-sepenggal).
"Dipotong-potong juduulan (sepenggal-penggal)
dan tidak dipecahkan satu tulang pun." Riwayat ini adalah dari Al
Hakim. ternyata riwayat ini bertentangan, sebab sungguh jauh pengertian
"memasak" dengan "memotong". Kemudian ternyata pula ucapan itu bukan
sabda Nabi saw yang dapat dijadikan hujjah.
Adapun dalam keterangan yang diberikan Atha dikatakan dipotong aaraban, seanggota-anggota, dan dihadiahkan kepada tetangga-tetangga serta kawan-kawan, dan tidak sedikitpun dari padanya disedekahkan. (Wa laa yatashaddaqu minhaa bi syain), jelaslah bukan keterangan dari Nabi. tambahannya pun satu sama yang lainnya bertentangan.
Dalam
riwayat Aisyah diterangkan "Ia makan, memberi makan dan bersedekah".
Sedangkan dalam riwayat Atha dinyatakan "Sama sekali tidak
disedekahkan".
Oleh karena itu
keterangan-keterangan di atas tidak dapat dijadikan alasan. Sedangkan
perihal menyedekahkan aqiqah dengan dagingnya yang masih mentah lebih
ringan daripada dimasak.
Sekiranya Islam dalam hal ini memperbolehkan dua cara tersebut memasak dan mentah, maka Rasulullah Saw senantiasa memilih asyaruhum yang teringan dari dua perkara yang dapat dipilih.
Ternyata
disini tidak ada keterangan yang kuat agar aqiqah dimasak dahulu.
bahkan ada keterangan yang menegaskan bahwa aqiqah itu adalah nusuk
sebagaimana halnya kurban.
Dalam hal ini sudah
jelas bahwa Rasulullah Saw membagikan nusuk (ibadah dengan cara
menyembelih seperti kurban) itu, sebagaimana sabdanya "Man syaa'a iqtatha'a". siapa yang mau, boleh memotongnya sendiri.
Sabdanya
lagi, "Barang siapa yang dilahirkan baginya seoarang anak, dan mau
melakukan nusuk, maka lakukanlah untuk anak laki-laki dua ekor kambing
(atau domba) dan untuk anak perempuan satu ekor kambing (atau domba)."
(Riwayat Abud dawud dan An Nasa'i Misykat : 363)
Diambil dari buku Hukum Qurban, Aqiqah dan Sembelihan. Karangan K.H. E Abdurrahman
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kepercayaanya kepada kami.